Sejarah Berdirinya
Sanggar Suara Perempuan
Lahirnya Yayasan Sanggar Suara Perempuan berawal pada bulan November 1990, ketika Rambu Atanau Mella bekerja sebagai konsultan pada yayasan Haumeni, di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1992 dan tahun 1996, ia dipercaya menjadi Direktur Yayasan Haumeni. Tahun pertama kepemimpinannya di Yayasan Haumeni, Rambu A. Mella banyak belajar dan menyaksikan berbagai masalah yang terkait dengan hak-hak perempuan di desa, baik dalam bidang kesehatan, sosial budaya, ekonomi maupun pendidikan.
Dari realita, ditemukan pemikiran untuk melakukan pertemuan-pertemuan dan pemetaan masalah. Pemetaan yang dilakukan menghasilkan kerangka berpikir tentang Kesehatan Perempuan dan Hak Asasi Manusia, HIV/AIDS, Lingkungan dan Kekerasan Terhadap Perempuan.
Dari pemetaan tersebut juga ditemukan, banyak perempuan hampIr di semua desa di Kabupaten TTS mengalami kekerasan yang tidak terungkap. Hal ini dikarenakan masyarakat masih menganggap tindakan kekerasan adalah hal yang biasa, sehingga tidak ada kepedulian terhadap berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di sekeliling mereka. Dan, untuk menyikapi permasalahan-permasalahan ini dilakukan minilokakarya yang berkaitan dengan masalah perempuan dan diikuti oleh para aktivis perempuan di NTT dalam mengidentifikasi pelanggaran HAM dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Hasil lokakarya disepakati pembentukan satu forum sebagai wadah untuk menyikapi persoalan perempuan di desa yang dinamakan “Forum Perempuan Timor”.
Forum ini mengangkat dua orang staf, yakni Almarhumah Ibu Dinorethy Tallo yang bekerja pada bagian Sekretariat, sekaligus pengelolaan informasi dengan membuat selebaran dan kemudian didistribusikan ke pedesaan serta Ibu Aleta Baun sebagai Staf Lapangan yang bertugas memfasilitasi diskusi dengan perempuan-perempuan didesa.
Pada tahun 1993, banyak kegiatan yang harus dilakukan di desa dan membutuhkan dana yang cukup banyak untuk menjawab tuntutan masyarakat. Akan tetapi Forum Perempuan Timor masih bernaung di bawah Yayasan Haumeni, sehingga sulit mendapatkan dukungan dana secara langsung karena belum berbadan hukum. Demi kelancaran program, maka pada bulan Juni 1996 Forum Perempuan Timor berbadan hukum dan berganti nama menjadi “Yayasan Sanggar Suara Perempuan”. Berdirinya yayasan ini tidak terlepas dari peran beberapa activis perempuan, yaitu, Ibu Galuh Wandita dan Ibu Karen Campbell Nelson serta beberapa tokoh perempuan lainnya.
Perkembangan kegiatan setiap tahun terus berjalan dengan melakukan diskusi-diskusi, workshop, pelatihan dan diseminasi informasi. Pengalaman kerja bersama masyarakat, menjadikan SSP terus berkembang dan mulai memperluas program serta pelayanan, dan pada tahun 1997-2001 dipercaya oleh mitra LSM bagian timur sebagai sekretariat untuk JKPIT (Jaringan Kesehatan Perempuan Indonesia Timur). Selanjutnya pada tahun 1998, SSP dipercaya oleh AusAid untuk penyaluran bantuan bagi korban bencana akibat perubahan iklim di Kecamatan Amanuban Selatan.
Seiring dengan berjalannya waktu, program kerja Sanggar Suara Perempuan semakin berkembang dan lebih fokus pada isu HAM, Gender dan Keseharan Reproduksi. Sejak tahun 2000, Sanggar Suara Perempuan fokus pada isu Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak serta mempersiapkan Sumber Daya Manusia dalam melakukan pendampingan dan pengorganisasian masyarakat. Sanggar Suara Perempuan juga mengambil sikap sebagai Pusat Komunikasi dan Informasi Gender, Kesehatan Reproduksi dan HAM termasuk didalamnya Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
Dari realita, ditemukan pemikiran untuk melakukan pertemuan-pertemuan dan pemetaan masalah. Pemetaan yang dilakukan menghasilkan kerangka berpikir tentang Kesehatan Perempuan dan Hak Asasi Manusia, HIV/AIDS, Lingkungan dan Kekerasan Terhadap Perempuan.
Dari pemetaan tersebut juga ditemukan, banyak perempuan hampIr di semua desa di Kabupaten TTS mengalami kekerasan yang tidak terungkap. Hal ini dikarenakan masyarakat masih menganggap tindakan kekerasan adalah hal yang biasa, sehingga tidak ada kepedulian terhadap berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di sekeliling mereka. Dan, untuk menyikapi permasalahan-permasalahan ini dilakukan minilokakarya yang berkaitan dengan masalah perempuan dan diikuti oleh para aktivis perempuan di NTT dalam mengidentifikasi pelanggaran HAM dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Hasil lokakarya disepakati pembentukan satu forum sebagai wadah untuk menyikapi persoalan perempuan di desa yang dinamakan “Forum Perempuan Timor”.
Forum ini mengangkat dua orang staf, yakni Almarhumah Ibu Dinorethy Tallo yang bekerja pada bagian Sekretariat, sekaligus pengelolaan informasi dengan membuat selebaran dan kemudian didistribusikan ke pedesaan serta Ibu Aleta Baun sebagai Staf Lapangan yang bertugas memfasilitasi diskusi dengan perempuan-perempuan didesa.
Pada tahun 1993, banyak kegiatan yang harus dilakukan di desa dan membutuhkan dana yang cukup banyak untuk menjawab tuntutan masyarakat. Akan tetapi Forum Perempuan Timor masih bernaung di bawah Yayasan Haumeni, sehingga sulit mendapatkan dukungan dana secara langsung karena belum berbadan hukum. Demi kelancaran program, maka pada bulan Juni 1996 Forum Perempuan Timor berbadan hukum dan berganti nama menjadi “Yayasan Sanggar Suara Perempuan”. Berdirinya yayasan ini tidak terlepas dari peran beberapa activis perempuan, yaitu, Ibu Galuh Wandita dan Ibu Karen Campbell Nelson serta beberapa tokoh perempuan lainnya.
Perkembangan kegiatan setiap tahun terus berjalan dengan melakukan diskusi-diskusi, workshop, pelatihan dan diseminasi informasi. Pengalaman kerja bersama masyarakat, menjadikan SSP terus berkembang dan mulai memperluas program serta pelayanan, dan pada tahun 1997-2001 dipercaya oleh mitra LSM bagian timur sebagai sekretariat untuk JKPIT (Jaringan Kesehatan Perempuan Indonesia Timur). Selanjutnya pada tahun 1998, SSP dipercaya oleh AusAid untuk penyaluran bantuan bagi korban bencana akibat perubahan iklim di Kecamatan Amanuban Selatan.
Seiring dengan berjalannya waktu, program kerja Sanggar Suara Perempuan semakin berkembang dan lebih fokus pada isu HAM, Gender dan Keseharan Reproduksi. Sejak tahun 2000, Sanggar Suara Perempuan fokus pada isu Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak serta mempersiapkan Sumber Daya Manusia dalam melakukan pendampingan dan pengorganisasian masyarakat. Sanggar Suara Perempuan juga mengambil sikap sebagai Pusat Komunikasi dan Informasi Gender, Kesehatan Reproduksi dan HAM termasuk didalamnya Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.